Senin, 08 Oktober 2012

PEMENUHAN PANGAN DI INDONESIA

                                                                                  Persoalan ketahanan pangan, bagi orang Indonesia lebih banyak tersorot kepada kerersediaan beras yang merupakan bahan pangan sebagian besar penduduk Indonesia. Walau pada kenyataannya persoalan yang dihadapi cukup luas, mulai dari ketersediaan, distribusi, hingga masalah diversi pangan.Ketahanan pangan nasional adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin  dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Departemen Pertanian (Deptan) selalu membantah jika ketahanan pangan Indonesia dikatakan bermasalah. Dengan data-data statistik, mereka memperlihatkan adanya kemajuan dalam produksi padi. Angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002 yang menyebutkan peningkatan produksi padi sebesar 2,27 persen semakin menguatkan argumentasi mereka bahwa produksi pangan tidak bermasalah.
Saat ini beras menjadi bahan pangan pokok 95% penduduk dan menyumbang konsumsi energi dan protein lebih dari 55%. Konsumsi perkapita beras penduduk Indonesia terus meningkat, misalnya antara tahun 1971-2004 meningkat dari sekitar 105 menjadi 128 kg/kapita/tahun. Sementara konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayuran, buah dan kacang-kacangan sangat rendah. Usahatani padi juga memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi jutaan rumah tangga pedesaan. Pada tahun 2002, sekitar 23 juta dari total 52 juta keluarga di Indonesia terlibat proses budidaya padi.
Pemenuhan hak pangan dan kelangsungan hidup rakyat. Sistem perberasan juga merupakan bagian penting kebudayaan serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia sehingga disebut sebagai komoditas “strategis”. Hampir semua pemerintah di dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk ketahanan pangan dan stabilitas politik.
Upaya Pemenuhan Pangan di Indonesia
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pangan di Indonesia saat ini. Sebagai sebuah regulasi yang terkait langsung dengan pembangunan pangan di tanah air, maka sangat penting untuk mengkaji kembali sejauh mana regulasi ini akan mampu menjadi wahana untuk pemenuhan Hak atas Pangan bagi warga negara Indonesia.
Untuk melihat sejauh mana Undang-undang No. 7 Tahun 1996 telah cukup memadai untuk menjadi rujukan legal dalam merealisasikan pemenuhan hak atas pangan bagi Warga Negara Indonesia, maka produk hukum ini perlu dikomparasikan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 yang merupakan terjemahan dari Kovenan Ekosob.  Akan tetapi perlu diingat bahwa komparasi yang dilakukan bukan semata-mata dimaksudkan untuk membandingkan klausul-klausul yang terkandung dalam 2 dokumen legal tersebut, akan tetapi disertai pula dengan konteks yang relevan dengan tantangan pembangunan pangan di Indonesia.
Pemenuhan Hak Pangan Rakyat dan Hak-Hak Petani Kecil Harus Menjadi Acuan Dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Pangan Global
Ada dua peristiwa penting menyangkut upaya masyarakat dunia menangani krisis pangan global yang sedang melanda masyarakat dunia saat ini. Pertama, pertemuan special session Dewan HAM PBB pada bulan Mei 2008 yang didalamnya membahas hak atas pangan (right to food) dalam kaitannya dengan krisis pangan global dan perubahan iklim. Kedua, KTT pangan dunia yang diadakan Badan Pangan Dunia (FAO) pada 3-5 Juni 2008 di Roma, Italia, yang membahas agenda dunia untuk menyelesaikan krisis pangan global.
Pelapor Khusus Hak Atas pangan PBB  menyatakan bahwa perdagangan bebas sulit untuk bisa memecahkan masalah kelaparan dunia dan seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak atas pangan. Padahal akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya harus menjadi kunci dari  hak atas pangan. Dasar legalnya sudah dijelaskan dalam teks Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Maka untuk keluar dari krisis pangan global ini, SPI dan IHCS  memandang perlu dilaksanakannya hal-hal berikut:
  1. Meningkatkan produksi pangan dunia dengan melakukan Pembaruan Agraria berupa membagi-bagikan tanah kepada petani, sehingga petani bisa memproduksi pangan secara masif, karena saat ini kepemilikan lahan petani  di Indonesia hanya 0,3 hektar dan sebagian besar lainnya hanya buruh tani yang tidak punya lahan.
  2. Berikan kepada petani hak untuk menentukan sendiri apa yang akan ditanam dan diproduksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan domestiknya baik itu untuk keluarganya sendiri, komunitas dan kepentingan nasionalnya. Kemudian pemerintah harus melindungi pasar domestik dari serbuan bahan pangan murah (dumping) dari luar negeri dan menindak spekulan besar. Artinya, pemerintah harus menegakkan kedaulatan pangan.
  3. Adanya mekanisme internasional lewat PBB (instrumen HAM) yang memberikan tanggungjawab dan kewajiban negara dan perusahaan multinasional atas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani.
  4. Pemerintah dan gerakan rakyat di Indonesia harus membangun persatuan negara-negara selatan (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) untuk menentang ketidakadilan global yang dilakukan negara-negara utara yang operasionalnya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia.
  5. PBB dan negara-negara harus menguji kewajiban ekstranasional negara (yaitu kewajiban negara terhadap warga negara dari negara lain). Dalam konteks kewajiban ekstranasional, kewajiban untuk menghormati Hak atas Pangan berarti, Negara harus mengambil tindakan atas segala dampak negatif terhadap Hak atas Pangan yang dirasakan orang di negara lain, dan harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak Hak atas Pangan dari orang yang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi, berimplikasi bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap perusahaan dan dunia usaha yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan.
             












Tidak ada komentar:

Posting Komentar