Persoalan ketahanan pangan, bagi orang
Indonesia lebih banyak tersorot kepada kerersediaan beras yang merupakan
bahan pangan sebagian besar penduduk Indonesia. Walau pada kenyataannya
persoalan yang dihadapi cukup luas, mulai dari ketersediaan,
distribusi, hingga masalah diversi pangan. Ketahanan pangan
nasional adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercemin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Departemen Pertanian (Deptan) selalu
membantah jika ketahanan pangan Indonesia dikatakan bermasalah. Dengan
data-data statistik, mereka memperlihatkan adanya kemajuan dalam
produksi padi. Angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002
yang menyebutkan peningkatan produksi padi sebesar 2,27 persen semakin
menguatkan argumentasi mereka bahwa produksi pangan tidak bermasalah.
Saat ini beras menjadi bahan pangan pokok
95% penduduk dan menyumbang konsumsi energi dan protein lebih dari 55%.
Konsumsi perkapita beras penduduk Indonesia terus meningkat, misalnya
antara tahun 1971-2004 meningkat dari sekitar 105 menjadi 128
kg/kapita/tahun. Sementara konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayuran,
buah dan kacang-kacangan sangat rendah. Usahatani padi juga memberikan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi jutaan rumah tangga pedesaan. Pada
tahun 2002, sekitar 23 juta dari total 52 juta keluarga di Indonesia
terlibat proses budidaya padi.
Pemenuhan hak pangan dan kelangsungan
hidup rakyat. Sistem perberasan juga merupakan bagian penting kebudayaan
serta penentu stabilitas ekonomi dan politik Indonesia sehingga disebut
sebagai komoditas “strategis”. Hampir semua pemerintah di dunia, baik
di negara berkembang maupun negara maju, selalu melakukan kontrol dan
intervensi terhadap komoditas pangan strategis seperti beras untuk
ketahanan pangan dan stabilitas politik.
Upaya Pemenuhan Pangan di Indonesia
Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996
merupakan salah satu produk hukum yang menjadi rujukan dalam pelaksanaan
pembangunan pangan di Indonesia saat ini. Sebagai sebuah regulasi yang
terkait langsung dengan pembangunan pangan di tanah air, maka sangat
penting untuk mengkaji kembali sejauh mana regulasi ini akan mampu
menjadi wahana untuk pemenuhan Hak atas Pangan bagi warga negara
Indonesia.
Untuk melihat sejauh mana Undang-undang
No. 7 Tahun 1996 telah cukup memadai untuk menjadi rujukan legal dalam
merealisasikan pemenuhan hak atas pangan bagi Warga Negara Indonesia,
maka produk hukum ini perlu dikomparasikan dengan Undang-Undang No. 11
Tahun 2005 yang merupakan terjemahan dari Kovenan Ekosob. Akan tetapi
perlu diingat bahwa komparasi yang dilakukan bukan semata-mata
dimaksudkan untuk membandingkan klausul-klausul yang terkandung dalam 2
dokumen legal tersebut, akan tetapi disertai pula dengan konteks yang
relevan dengan tantangan pembangunan pangan di Indonesia.
Pemenuhan Hak Pangan Rakyat dan Hak-Hak Petani Kecil Harus Menjadi Acuan Dalam Upaya Menyelesaikan Krisis Pangan Global
Ada dua peristiwa penting menyangkut
upaya masyarakat dunia menangani krisis pangan global yang sedang
melanda masyarakat dunia saat ini. Pertama, pertemuan special session
Dewan HAM PBB pada bulan Mei 2008 yang didalamnya membahas hak atas
pangan (right to food) dalam kaitannya dengan krisis pangan global dan
perubahan iklim. Kedua, KTT pangan dunia yang diadakan Badan Pangan
Dunia (FAO) pada 3-5 Juni 2008 di Roma, Italia, yang membahas agenda
dunia untuk menyelesaikan krisis pangan global.
Pelapor Khusus Hak Atas pangan PBB
menyatakan bahwa perdagangan bebas sulit untuk bisa memecahkan masalah
kelaparan dunia dan seringkali menciptakan rintangan bagi realisasi hak
atas pangan. Padahal akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya
harus menjadi kunci dari hak atas pangan. Dasar legalnya sudah
dijelaskan dalam teks Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya.
Maka untuk keluar dari krisis pangan global ini, SPI dan IHCS memandang perlu dilaksanakannya hal-hal berikut:
- Meningkatkan produksi pangan dunia dengan melakukan Pembaruan Agraria berupa membagi-bagikan tanah kepada petani, sehingga petani bisa memproduksi pangan secara masif, karena saat ini kepemilikan lahan petani di Indonesia hanya 0,3 hektar dan sebagian besar lainnya hanya buruh tani yang tidak punya lahan.
- Berikan kepada petani hak untuk menentukan sendiri apa yang akan ditanam dan diproduksinya dalam rangka memenuhi kebutuhan domestiknya baik itu untuk keluarganya sendiri, komunitas dan kepentingan nasionalnya. Kemudian pemerintah harus melindungi pasar domestik dari serbuan bahan pangan murah (dumping) dari luar negeri dan menindak spekulan besar. Artinya, pemerintah harus menegakkan kedaulatan pangan.
- Adanya mekanisme internasional lewat PBB (instrumen HAM) yang memberikan tanggungjawab dan kewajiban negara dan perusahaan multinasional atas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani.
- Pemerintah dan gerakan rakyat di Indonesia harus membangun persatuan negara-negara selatan (Asia, Afrika, dan Amerika Latin) untuk menentang ketidakadilan global yang dilakukan negara-negara utara yang operasionalnya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, IMF dan Bank Dunia.
- PBB dan negara-negara harus menguji kewajiban ekstranasional negara (yaitu kewajiban negara terhadap warga negara dari negara lain). Dalam konteks kewajiban ekstranasional, kewajiban untuk menghormati Hak atas Pangan berarti, Negara harus mengambil tindakan atas segala dampak negatif terhadap Hak atas Pangan yang dirasakan orang di negara lain, dan harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak Hak atas Pangan dari orang yang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi, berimplikasi bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap perusahaan dan dunia usaha yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar